Ada satu dua orang kerap kali kami jumpai dalam tiap
tikungan gang-gang sempit menuju pelataran kampus kami. Tidak banyak. Mungkin
tiap sepuluh menit hanya satu atau dua saja. Mereka menengadahkan tangan,
meminta belas kasihan, merayu-rayu, bahkan mau membuntuti langkah
mahasiswa-mahasiswa ataupun semua orang yang lewat di dekatnya. Tak urung ia
pun mulai mencaci dan menyatakan sumpah serapahnya pada kami ketika kami tak
memberi respon. Bahkan lebih parah lagi jika kami menyatakan tak punya uang
kecil, sumpah serapah atas profesi kami jadi andalan. Misalkan saja, mereka
akan mengatakan kami adalah mahasiswa yang tidak akan pernah kaya.
Belum lagi di dalam kampus tercinta kami. Setiap kurang
dari setengah jam kami duduk berdiskusi di gazebo taman sambil menikmati angin sejuk
di bawah pohon taman, pasti ada saja manusia-manusia penadah seperti ini.
Mungkin terlampau kasar jika kami menyebut mereka manusia penadah. Lalu apa
yang harus kami gunakan? Pengemis? Tuna wisma? Bukankah kami disini pun juga
sedang dalam keadaan tuna wisma? Karena kami pun hanya menyewa kamar kos yang
ukurannya 2X2 dengan harga 4 juta pertahun. Bukankah kami juga peminta-minta?
Jika kami selalu menarget orangtua tiap bulan?
Sungguh ironi memang.
Jika dipertaruhkan dengan hati nurani, mohon maaf.
Bukannya kami tak mempunyai hati nurani untuk membantu. Tapi, saat ini siapakah
yang tidak mempunyai hati nurani? Coba lihat! Ketika makan siang kami hanya
menyampatkan untuk membeli satu potong tempe sebagai lauk, suatu waktu kami pernah
menjumpai orang-orang seperti ini makan dengan nikmatnya berlauk ayam panggang.
Kami pun bisa, makan dengan menu seperti itu. Tapi kami
masih punya tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan kami yang lain.
Sebenarnya siapa yang tak punya hati nurani?
Ketika melihat orang-orang itu ‘malak’ dengan cara yang
terlihat halus.
Ketika melihat tubuh mereka yang segar bugar, sehat,
gemuk dan berisi.
Bahkan kami rela menahan hingga badan kami kurus.
Bukannya kami sudah tak memiliki hati nurani dan enggan
membantu. Tapi, melihat kenyataannya, rasanya ingin sekali mengutuk orang-orang
seperti itu. Mereka adalah perampok. Tapi bukan perampok dengan wajah sangar
yang mengerikkan dan menghantui kami dengan ancaman pembunuhan. Mereka justru
berpotensi sebagai perampok dengan wajah memelas, yang menghantui kami dengan
perasaan berdosa.
Lalu? Apa yang harus kami lakukan?