Senin, 04 Februari 2013

Peminta-minta



Ada satu dua orang kerap kali kami jumpai dalam tiap tikungan gang-gang sempit menuju pelataran kampus kami. Tidak banyak. Mungkin tiap sepuluh menit hanya satu atau dua saja. Mereka menengadahkan tangan, meminta belas kasihan, merayu-rayu, bahkan mau membuntuti langkah mahasiswa-mahasiswa ataupun semua orang yang lewat di dekatnya. Tak urung ia pun mulai mencaci dan menyatakan sumpah serapahnya pada kami ketika kami tak memberi respon. Bahkan lebih parah lagi jika kami menyatakan tak punya uang kecil, sumpah serapah atas profesi kami jadi andalan. Misalkan saja, mereka akan mengatakan kami adalah mahasiswa yang tidak akan pernah kaya.
Belum lagi di dalam kampus tercinta kami. Setiap kurang dari setengah jam kami duduk berdiskusi di gazebo taman sambil menikmati angin sejuk di bawah pohon taman, pasti ada saja manusia-manusia penadah seperti ini. Mungkin terlampau kasar jika kami menyebut mereka manusia penadah. Lalu apa yang harus kami gunakan? Pengemis? Tuna wisma? Bukankah kami disini pun juga sedang dalam keadaan tuna wisma? Karena kami pun hanya menyewa kamar kos yang ukurannya 2X2 dengan harga 4 juta pertahun. Bukankah kami juga peminta-minta? Jika kami selalu menarget orangtua tiap bulan?
Sungguh ironi memang.
Jika dipertaruhkan dengan hati nurani, mohon maaf. Bukannya kami tak mempunyai hati nurani untuk membantu. Tapi, saat ini siapakah yang tidak mempunyai hati nurani? Coba lihat! Ketika makan siang kami hanya menyampatkan untuk membeli satu potong tempe sebagai lauk, suatu waktu kami pernah menjumpai orang-orang seperti ini makan dengan nikmatnya berlauk ayam panggang.
Kami pun bisa, makan dengan menu seperti itu. Tapi kami masih punya tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan kami yang lain.
Sebenarnya siapa yang tak punya hati nurani?
Ketika melihat orang-orang itu ‘malak’ dengan cara yang terlihat halus.
Ketika melihat tubuh mereka yang segar bugar, sehat, gemuk dan berisi.
Bahkan kami rela menahan hingga badan kami kurus.
Bukannya kami sudah tak memiliki hati nurani dan enggan membantu. Tapi, melihat kenyataannya, rasanya ingin sekali mengutuk orang-orang seperti itu. Mereka adalah perampok. Tapi bukan perampok dengan wajah sangar yang mengerikkan dan menghantui kami dengan ancaman pembunuhan. Mereka justru berpotensi sebagai perampok dengan wajah memelas, yang menghantui kami dengan perasaan berdosa.
Lalu? Apa yang harus kami lakukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar